"Usai lulus SMA tahun 1992, ketika teman mencari pekerjaan di luar kota, saya hanya jalan-jalan di Malioboro untuk melihat-lihat kerajinan tangan. Setelah itu, muncul ide memanfaatkan batok kelapa untuk menjadi gantungan kunci atau suvenir untuk pernikahan," katanya, saat ditemui di rumah produksi yang bernama Chumplung Adji Craff di Dusun Santan, Desa Guwosari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, DIY, Rabu 20 November 2013.
Untuk membuat suvenir pernikahan dan gantungan kunci itu, Subkhan mengaku hanya mempunyai uang Rp12.500, yang digunakan untuk membeli alat bubut yang sangat sederhana dan masih manual.
Namun, dengan alat yang masih manual itu justru terciptalah gantungan kunci dan suvenir pernikahan dari bahan dasar batok kelapa yang indah. "Saat itu, pemasarannya masih door to door, sehingga kurang laku di pasaran dan penjualan sangat terbatas," ujarnya.
Akibat tak begitu laku, dirinya nekat untuk melakukan promosi produknya ke hotel-hotel yang ada di Yogyakarta. Kala itu, hanya di dua hotel yaitu Hotel Garuda dan Hotel Ambarukmo.
Berawal dari promosi di kedua hotel tersebutlah, ada pembeli dari luar negeri yang memesan alat musik Marakas untuk dikirim ke Kanada. "Mereka memberikan contoh alat musik tersebut dan dengan alat yang masih manual itu akhirnya pesanan dapat dipenuhi dan dikirim ke Kanada," katanya.
Menurut Subkhan, dari alat musik Marakas itulah usahanya terus berkembang hingga 1998, saat Indonesia mengalami krisis ekonomi tapi produk kerajinan tangan yang dihasilkannya justru mendapatkan keuntungan besar karena pasarnya adalah luar negeri dengan transaksi dolar.
"Ketika dolar harganya Rp15.000, sekali kirim hasil kerajinan tangan sesuai dengan pesanan pembeli, maka miliaran rupaiah dapat diraup. Itu merupakan puncak usaha yang saya geluti," terangnya.
Subkhan mengaku bahwa hingga saat ini dirinya masih memiliki delapan tenaga kerja yang mengerjakan pesanan dari Eropa, Australia maupun kawasan Timur Tengah. Namun demikian, jika pesanannya cukup banyak, pekerjaan di sub-kan kepada tetangganya yang kini ada delapan kepala keluarga yang mengerjakan kerajinan tangan dengan bahan baku tempurung kelapa atau batok.
"Akibat terbatasnya perajin yang ada di kampung. Maka, pesanan dari luar negeri yang cukup banyak tak mampu dipenuhi. Kami kerepotan untuk memenuhi permintaan dari para pembeli," keluhnya.
Dia mengaku bahwa tenaga trampil dan memiliki sifat telaten, ulet, dan sabar sangat sulit ditemukan sehingga untuk memenuhi pesanan produk ekspor sulit untuk dipenuhi. Apalagi, setiap tenaga yang mampu membuat produk, mereka akan "diusir" untuk dapat mandiri dan berusaha sendiri.
"Saya ingin menciptakan bos-bos baru, bukan menciptakan tenaga kerja saja. Ketika banyak bos baru, harapan saya 'one village one product' dapat terealisasi," tuturnya.
Sementara itu, Hartini (40), istri Subkhan mengaku pesanan kerajinan tangan dari luar negeri sangat banyak karena produknya adalah produk ramah lingkungan dan hal itu menjadi target utama para pembeli dari luar negeri.
"Dalam bulan ini, kita mendapatkan pesanan peralatan makan dari tempurung kelapa. Mulai dari gelas hingga piring dan tempat nasi atau sayur yang hanya sekali pakai. Pesanan datang dari negara Jepang," ujarnya.
Hartini yang telah dikarunia dua orang putra dari pernikahanya dengan Subkhan ini mengatakan bahwa pangsa pasar luar negeri, terutama produk yang ramah lingkungan masih sangat terbuka dan tinggal kemauan dan kemampuan SDM yang perlu ditingkatkan. Sebab, untuk pasokan bahan baku sudah ada yang akan memasok dan tidak akan kekurangan.
"Permasalahan yang mendasar saat ini adalah kemampuan SDM, karena untuk permodalan pemerintah dapat memberikan modal tambahan dengan bunga yang sangat ringan," tegasnya.
Komentar
Posting Komentar